Rabu, 28 Desember 2011

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN CIDERA KEPALA SEDANG


A.    Pengertian
Cidera kepala adalah kerusakan neurologi yang terjadi akibat adanya trauma pada jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang terjadi (sylvia anderson Price, 1985)
Disebut cedera kepala sedang bila GCS 9-12, kehilangan kesadaran atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam bahkan sampai berhari-hari. Resiko utama pasien yang mengalami cedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan TIK.

B.     patofisiologi
Cedera kulit kepala
Karena bagian ini banyak mengandung pembuluh darah, kulit kepala berdarah bila mengalami cedera dalam. Kulit kepala juga merupakan tempat masuknya infeksi intrakranial. Trauma dapat menimbulkan abrasi, kontisio, laserasi atau avulsi.

Fraktur tengkorak
Fraktur tengkorak adalah rusaknya kontinuitas tulang tengkorak disebabkan oleh trauma. Ini dapat terjadi dengan atau tanpa kerusakan otak. Adanya fraktur tengkorak biasanya dapat menimbulkan dampak tekanan yang kuat. Fraktur tengkorak diklasifikasikan terbuka/tertutup. Bila fraktur terbuka maka dura rusak dan fraktur tertutup dura tidak rusak. Fraktur kubah kranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur dan karena alasan yang kurang akurat tidak dapat ditetapkan tanpa pemeriksaan dengan sinar X, fraktur dasar tengkorak cenderung melintas sinus paranasal pada tulang frontal atau lokasi tengah telinga di tulang temporal, juga sering menimbulkan hemorragi dari hidung, faring atau telinga dan darah terlihat di bawah konjungtiva. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan hidung.
      Cidera otak
Kejadian cedera “ Minor “ dapat menyebabkan kerusakan otak bermakna. Otak tidak dapat menyimpan oksigen dan glukosa sampai derajat tertentu yang bermakna sel-sel cerebral membutuhkan supalai darah terus menerus untuk memperoleh makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati dapat diakibatkan karena darah yang mengalir tanpa henti hanya beberapa menit saja dan kerusakan neuron tidak dapat mengalami regenerasi.

Komosio
Komosio cerebral setelah cedera kepala adalah kehilangan fase neuologik sementara tanpa kerusakan struktur. Jika jaringan otak dan lobus frontal terkena, pasien dapat menunjukkan perilaku yang aneh dimana keterlibatan lobus temporal dapat menimbulkan amnesia disoreantasi.

Kontusio
Kontusio cerebral merupakan CKB, dimana otak mengalami memar dan kemungkinan adanya daerah hemoragi. Pasien berada pada periode tidak sadarkan diri. Pasien terbaring kehilangan gerakan, denyut nadi lemah, pernafasan dangkal, kulit dingin dan pucat.

Hemoragi cranial
Hematoma ( pengumpulan  darah ) yang terjadi dalam tubuh kranial adalah akibat paling serius dari cedera kepala. Ada 3 macam hematoma :
  1. Hematoma Epidural (hematoma Ekstradural)
Setelah terjadi cedera kepala, darah berkumpul di dalam ruang epidural (ekstradural) diantara tengkorak di dura. Keadaan ini sering diakibatkan dari fraktur tulang tengkorak yang menyebabkan arteri meningkat tengah putus atau rusak (laserasi), dimana arteri ini berada diantara dura dan tengkorak daerah frontal inferior menuju bagian tipis tulang temporal, hemoragi karena arteri ini menyebabkan penekanan pada otak.

  1. hematoma subdural
hematoma subdural adalah pengumpulan darah diantara dura dan dasar otak, yang pada keadaan normal diisi oleh cairan. Hemoragi sub dural lebih sering terjadi pada vena dan merupakan akibat putusnya pembuluh darah kecil yang menjembatani ruang subdural. Hematoma subdural dapat terjadi akut, sub akut atau kronik tergantung pada ukuran pembuluh darah yang terkena dan jumlah perdarahan yang ada. Hematoma subdural akut: dihubungkan dengan cedera kepala mayor yang meliputi kkontusio atau laserasi. Hematoma subdural subakut: sekrela kontusio sedikit berat dan dicurigai pada bagian yang gagal untuk menaikkan kesadaran setelah trauma kepala. Hematoma subdural kronik: dapat terjadi karena cedera kepala minor dan terjadi paling sering pada lansia. Lansia cenderung mengalami cedera tipe ini karena atrofi otak, yang diperkirakan akibat proses penuaan.

  1. Hemoragi Intra cerebral dan hematoma
hematoma intracerebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini biasanya terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak kepala sampai daerah kecil. Hemoragi in didalam menyebabkan degenerasi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantong aneorima vasculer, tumor infracamal, penyebab sistemik gangguan perdarahan.
Trauma otak mempengaruhi setiap sistem tubuh. Manifestasi klinis cedera otak meliputi :
-          Gangguan kesadaran
-          Konfusi
-          Sakit kepala, vertigo, gangguan pergerakan
-          Tiba-tiba defisit neurologik
-          Perubahan TTV
-          Gangguan penglihatan
-          Disfungsi sensorik
-          lemah otak
A.    TANDA DAN GEJALA
·         Pola pernafasan
Pusat pernafasan diciderai oleh peningkatan TIK dan hipoksia, trauma langsung atau interupsi aliran darah. Pola pernafasan dapat berupa hipoventilasi alveolar, dangkal.
·         Kerusakan mobilitas fisik
Hemisfer atau hemiplegi akibat kerusakan pada area motorik otak.
·         Ketidakseimbangan hidrasi
Terjadi karena adanya kerusakan kelenjar hipofisis atau hipotalamus dan peningkatan TIK
·         Aktifitas menelan
Reflek melan dari batang otak mungkin hiperaktif atau menurun sampai hilang sama sekali
·         Kerusakan komunikasi
Pasien mengalami trauma yang mengenai hemisfer serebral menunjukkan disfasia, kehilangan kemampuan untuk menggunakan bahasa.

B.     PEMERIKSAAN PENUNJANG
·         CT Scan
·         Ventrikulografi udara
·         Angiogram
·         Diagnostik Peritoneal Lavage (DPL)
·         Ultrasonografi

C.    penatalaksanaan
1.      Air dan Breathing
-          Perhatian adanya apnoe
-          Untuk cedera kepala berat lakukan intubasi endotracheal. Penderita mendapat ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh AGD dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2.
-          Tindakan hiperventilasi dilakukan hati-hati untuk mengoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat TIK pada penderita dengan pupil yang telah berdilatasi. PCO2 harus dipertahankan antara 25-35 mmhg.
2.      Circulation
Hipotensi dan hipoksia adalah merupakan penyebab utama terjadinya perburukan pada CKS. Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak tampak. Jika terjadi hipotensi maka tindakan yang dilakukan adalah menormalkan tekanan darah. Lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang sementara penyebab hipotensi dicari.
3.      disability (pemeriksaan neurologis)
-          Pada penderita hipotensi pemeriksaan neurologis tidak dapat dipercaya kebenarannya. Karena penderita hipotensi yang tidak menunjukkan respon terhadap stimulus apapun, ternyata menjadi normal kembali segera tekanan darahnya normal
-          Pemeriksaan neurologis meliputi pemeriksaan GCS dan reflek cahaya pupil

D.    pengkajian primer
a.       Airway
Kaji adanya obstruksi jalan antara lain suara stridor, gelisah karena hipoksia, penggunaan otot bantu pernafasan, sianosis
b.      Breathing
Inspeksi frekuensi nafas, apakah terjadi sianosis karena luka tembus  dada, fail chest, gerakan otot pernafasan tambahan. Kaji adanya suara nafas tambahan seperti ronchi, wheezing.
c.       Sirkulasi
Kaji adanya tanda-tanda syok seperti: hipotensi, takikardi, takipnea, hipotermi,pucat, akral dingin, kapilari refill>2 detik, penurunan produksi urin.
d.      Disability
Kaji tingkat kesadaran pasien serta kondisi secara umum.
e.       Eksposure
Buka semua pakaian klien untuk melihat adanya luka.
E.     pengkajian skunder
-          Kepala
Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian luar dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital
-          Leher
Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang
-          Neurologis
Penilaian fungsi otak dengan GCS
-          Dada
Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan jantung, pemantauan EKG
-          Abdomen
Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma tumpul abdomen
-          Pelvis dan ekstremitas
Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma, memar dan cedera yang lain

F.     diagnoasa keperawatan yang muncul
1.      Gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral
2.      Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
3.      Kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan
4.      Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekresi, obstruksi jalan nafas
5.      Gangguan pola nafas b.d adanya depresi pada pusat pernafasan
6.      Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran
7.      Resiko cedera b.d kejang, penurunan kesadaran
8.      Gangguan eliminasi urin b.d kehilangan control volunteer pada kandung kemih



G.    rencana keperawatan
1.      Diagnosa : gangguan perfusi jaringan serebral b.d penurunan aliran darah ke serebral, edema serebral
Tujuan : mempertahankan tingkat kesadaran, kognisi dan fungsi motorik dan sensorik
Intervensi :
-          Kaji faktor penyebab penurunan kesadaran dan peningkatan TIK
-          Monitor status neurologis
-          Pantau tanda-tanda vital dan peningkatan TIK
-          Evaluasi pupil, batasan dan proporsinya terhadap cahaya
-          Letakkan kepala dengan posisi 15-45 derajat lebih tinggi untuk mencegah peningkatan TIK
-          Kolaburas pemberian oksigen sesuai dengan indikasi, pemasangan cairan IV, persiapan operasi sesuai dengan indikasi

2.      Diagnosa : Pola nafas tidak efektif b.d kerusakan neuro muskuler (cedera pada pusat pernafasan otak, kerusakan persepsi /kognitif)
Tujuan : pola nafas pasien efektif
Intervensi :
-          Kaji pernafasan (irama, frekuensi, kedalaman) catat adanya otot bantu nafas
-          Kaji reflek menelan dan kemampuan mempertahankan jalan nafas
-          Tinggikan bagian kepala tempat tidur dan bantu perubahan posisi secara berkala
-          Lakukan pengisapan lendir, lama pengisapan tidak lebih dari 10-15 detik
-          Auskultasi bunyi paru, catat adanya bagian yang hipoventilasi dan bunyi tambahan(ronchi, wheezing)
-          Catat pengembangan dada
-          Kolaburasi : awasi seri GDA, berikan oksigen tambahan melalui kanula/ masker sesuai dengan indikasi
-          Monitor pemakaian obat depresi pernafasan seperti sedatif
-          Lakukan program medik
3.      Diagnosa : kerusakan pertukaran gas b.d hilangnya control volunteer terhadap otot pernafasan
tujuan : pasien mempertahankan oksigenasi adekuat
intervensi :
-          Kaji irama atau pola nafas
-          Kaji bunyi nafas
-          Evaluasi nilai AGD
-          Pantau saturasi oksigen

4.      Diagnosa : Inefektif bersihan jalan nafas b.d akumulasi sekret, obstruksi jalan nafas
Tujuan : mempertahankan potensi jalan nafas
intervensi :
-          Auskultasi bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas misal krekels, mengi, ronchi
-          Kaji frekuensi pernafasan
-          Tinggikan posisi kepala tempat tidur sesuai dengan indikasi
-          Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat warna lendir yang keluar
-          Kolaburasi : monitor AGD

5.      Diagnosa : resiko cedera b.d penurunan kesadaran
tujuan : tidak terjadi cedera pada pasien selama kejang, agitasi atu postur refleksif
intervensi :
-          Pantau adanya kejang pada tangan, kaki, mulut atau wajah
-          Berikan keamanan pada pasien dengan memberikan penghalang tempat tidur
-          Berikan restrain halus pada ekstremitas bila perlu
-          Pasang pagar tempat tidur
-          Jika terjadi kejang, jangan mengikat kaki dan tangan tetapi berilah bantalan pada area sekitarnya. Pertahankan jalan nafas paten tapi jangan memaksa membuka rahang
-          Pertahankan tirah baring

6.      Resiko Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d penurunan kesadaran
Tujuan : tidak terjadi kekurangan kebutuhan nutrisi tepenuhi
Intervensi :
-          Pasang pipa lambung sesuai indikasi, periksa posisi pipa lambung setiap akan memberikan makanan
-          Tinggikan bagian kepala tempat tidur setinggi 30 derajat untuk mencegah terjadinya regurgitasi dan aspirasi
-          Catat makanan yang masuk
-          Kaji cairan gaster, muntahan
-          Kolaburasi dengan ahli gizi dalam pemberian diet yang sesuai dengan kondisi pasien
-          Laksanakan program medik

7.      Diagnosa : Gangguan eliminasi urin b.d hilangnya control volunter pada kandung kemih
tujuan : mempertahankan urin yang adekuat, tanpa retensi urin
intervensi :
-          Kaji pengeluaran urin terhadap jumlah, kualitas dan berat jenis
-          Periksa residu kandung kemih setelah berkemih
-          Pasang kateter jika diperlukan, pertahankan teknik steril selama pemasangan untuk mencegah infeksi

0 komentar:

Posting Komentar

◄ Newer Post Older Post ►